Shalat Jum'at Selain Dimasjid (bag. 1)

Bismillaah bi-idznillaah





Diantara syarat sah-nya Sholat JUM'AT iyalah hendak didirikan dalam Abniyah, Atau Balad, Atau Qoryah, Atau Mishron.

Dalam Fathul Mu'in dikatakan:

(و) ثالثها: وقوعها (بمحل معدود من البلد)

Artinya: (Syarat sah shalat Jum'at) yang ketiga adalah dilaksanakannya Sholat itu di tempat yang masih terhitung bagian dari "Balad".

Kemudian oleh Imam Abu Bakar bin Muhammad Syatho dijelaskan secara gamblang maksud dari "Balad" dalam I'anatut Tholibin 2/70:

المراد بالبلد : أبنية أوطان المجمعين، سواء كانت بلدا أو قرية أو مصرا، وهو ما فيه حاكم شرعي، وحاكم شرطي، وأسواق للمعاملة.

والبلد: ما فيه بعض ذلك.
والقرية ما خلت عن ذلك كله.

Yang dimaksud Balad iyalah: Abniyah (pemukiman) penduduk warga jama'ah Jum'at, baik berupa Balad, Qoryah atau Mishron.
Mishron adalah daerah yang disana terdapat Hakim Syar'i, Hakim Syarthi, dan pasar-pasar untuk ber muamalah.
Balad iyalah daerah yang terdapat sebagian yang tersebut dalam Mishron.
Qoryah adalah daerah yang tidak tersedia semua hal diatas.

(Perlu fokus)

ولا فرق في الأبنية بين أن تكون بحجر، أو خشب، أو قصب، أو نحو ذلك.

Dan tidak ada perbedaan (dalam keabsahan Sholat Jum'at) yang didirikan dalam pemukiman warga antara yang dibangun dengan batu, kayu, bambu, atau semacamnya.

(Tambahkan fokusnya)

ومثل الأبنية: الغيران والسراديب في نحو الجبل،
ولا فرق في المحل الذي تقام فيه الجمعة بين أن يكون مسجدا، أو ساحة مسقفة، أو فضاء معدودا من البلد،

Dan setara (sama-sama sah) dengan pemukiman adalah beberapa Goa dan lorong-lorong di daerah semacam pegunungan.

Dan tidak ada bedanya (sama-sama sah) dalam tempat pelaksanaan sholat Jum'at antara Masjid, atau lapangan yang diberi atap, atau tanah lapang yang masih terhitung bagian dari Balad.

ولو انهدمت الأبنية وأقام أهلها عازمين على عمارتها صحت الجمعة استصحابا للأصل ولا تنعقد في غير بناء إلا في هذه الصورة، بخلاف ما لو نزلوا مكانا وأقاموا فيه ليعمروه قرية، فلا تصح جمعتهم فيه قبل البناء، استصحابا للأصل أيضا.

Andai saja pemukiman (Mishron, Balad, Qoryah) warga itu hancur, tapi penduduknya masih mendirikan Jumat dan ada niat untuk membangunnya kembali maka Jum'at nya sah, karena melanjutkan hukum asalnya (sebelum hancur).

Sholat Jum'at tidak sah didirikan di selain Bina' (pemukiman warga) kecuali dalam contoh ini.

Beda halnya dengan kasus yang seumpama mereka turun di suatu daerah kemudian mereka bermaksud bermuqim disana guna untuk membangun pemukiman baru, maka Jum'at mereka tidak sah sebelum pemukiman tersebut rampung, hal ini juga melanjutkan hukum asal sebelum menjadi pemukiman.


Bagaimana hukumnya sholat jum'at di selain masjid ?




Jawab :

Imam Nawawi as-Syafi’i menjelaskan :

قال أصحابنا ولا يشترط إقامتها في مسجد ولكن تجوز في ساحة مكشوفة بشرط أن تكون داخلة في القرية أو البلدة معدودة من خطتها

" Ulama-ulama syafi’iyyah berkata: (shalat jum’at) tidak harus dilaksanakan di masjid, tetapi boleh di pelataran, asalkan masih di tengah-tengah kampung atau suaru wilayah tertentu." (Yahya bin Syaraf an-Nawawi w. 676 H, al-Majmu’, h. 47).

Imam al-Khatib as-Syirbini menjelaskan perkataan Imam Nawawi :

(الثاني) من الشروط (أن تقام في خطة أبنية أوطان المجمعين) بتشديد الميم: أي المصلين الجمعة، وإن لم تكن في مسجد لأنها لم تقم في عصر النبي - صلى الله عليه وسلم - والخلفاء الراشدين إلا في مواضع الإقامة كما هو معلوم

" Syarat kedua dari syaratnya sholat jum'at adalah, diadakan di lokasi yang terbatasi bangunan penduduk yang wajib sholat jum'at. Meskipun sholat jum'atnya bukan di masjid." (Al-Khatib as-Syirbini, Mughni al-Muhta, h. 1/543)

Al-Mardawi – ulama hambali – (w. 885 H) mengatakan,

قوله: ( ويجوز إقامتها في الأبنية المتفرقة , إذا شملها اسم واحد ، وفيما قارب البنيان من الصحراء ) وهو المذهب مطلقا . وعليه أكثر الأصحاب . وقطع به كثير منهم .

" Boleh mengadakan jumatan di satu tempat yang terkepung beberapa bangunan, jika wiliyah jumatan itu masih satu tempat, boleh juga dilakukan di tanah lapang dekat bangunan pemukiman.” Inilah pendapat madzhab hambali, dan pendapat yang dipilih mayoritas ulama hambali."

Ibnu Qudamah menjelaskan,

ولا يشترط لصحة الجمعة إقامتها في البنيان ، و يجوز إقامتها فيما قاربه من الصحراء ، و بهذا قال أبو حنيفة

" Bukan termasuk syarat sah jumatan harus dilakukan di antara bangunan. Boleh juga dilaksanakan di tanah lapang yang dekat dengan bangunan. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah. "(al-Mughni, 2/171)



Apakah ada sholat tahiyyatul masjid atau tahiyyatus syaari'?

Jawab :

Zainudin Al-Iraqi – ulama Syafiiyah – (w. 806 H) mengatakan,

مذهبنا [ أي : مذهب الشافعية ] : أن إقامة الجمعة لا تختص بالمسجد ، بل تقام في خِطة الأبنية ؛ فلو فعلوها في غير مسجد لم يُصلّ الداخل إلى ذلك الموضع في حالة الخطبة ، إذ ليست له تحية

“Madzhab kami (madzhab Syafiiyah), pelaksanaan shalat jumat tidak harus di masjid, namun bisa dilaksanakan di semua lokasi yang tertutup bangunan. Jika ada orang yang melakukan jumatan di selain masjid maka orang memasuki wilayah yang digunakan untuk shalat jumat itu ketika khutbah jumat telah dimulai, maka dia tidak disyariatkan shalat tahiyatul masjid, karena tempat itu bukan masjid yang disyariatkan untuk dilaksanakan tahiyatul masjid ". (Tharh At-Tatsrib, 4/90).

Al Imam Ibnu Qudamah -salah satu pembesar mazhab Hanabilah- menjelaskan :

ولا يشترط لصحة الجمعة إقامتها في البنيان ، و يجوز إقامتها فيما قاربه من الصحراء ، و بهذا قال أبو حنيفة

Bukan termasuk syarat sah jumatan harus dilakukan di antara bangunan. Boleh juga dilaksanakan di tanah lapang yang dekat dengan bangunan. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah. (al-Mughni, 2/171)

Kesimpulanya : jumatan tidak harus dilakukan di masjid. Sehingga jumatan yang dilaksanakan di jalan/tanah lapang, dikelilingi dengan gedung-gedung di sekitarnya juga sah.


Apakah makruh sholat di jalan raya, jika makruh karena apakah kemakruhannya ?

Jawab :

Al-Ramli rahimahullaah berkata dalam Nihayah al-Muhtaj 2/63 :

(و) في (الطريق) والبنيان وقت مرور الناس به كالمطاف؛ لأنه يشغله بخلاف الصحراء الخالي عن الناس كما صححه في التحقيق

" Dan makruh shalat di jalan dan di halaman perumahan pada saat orang-orang sedang lewat seperti tempat tawaf, karena berlalunya mereka dapat menyita kekhusyu’annya, berbeda dengan di jalan yang ada di padang pasir yang sepi dari manusia (maka tidak makruh) sebagaimana pendapat yang dishahihkan oleh Imam al-Nawawi dalam al-Tahqiq."

Ini artinya shalat di jalan ketika tidak ada orang yang lewat hukumnya tidak makruh, misalnya karena jalan tersebut telah ditutup. Illat kemakruhannya karena lalu lalangnya orang yang lewat dapat mengganggu kekhusyu'an sholatnya. Ada ulama yg mengatakan karena kenajisannya. Jika tidak ada najis maka tidak makruh.

Bagaimana jika jalan protokol itu dapat mengganggu pengguna jalan jika ditutup utk sholat jum'at ?

Jawab :

Kenapa tidak dilarang sekalian, acara-acara yang lalu yang menggunakan jalan tersebut dan menutupnya, bahkan acara-acara yang tidak bermanfaat di mata Islam maupun sosial kemasyarakatan seperti car free day, unjuk rasa waria dll ?

Wa Allaahu A'lam wa Ahkam

Komentar

Postingan Populer