Meninggal Setelah Menghayati Al Qur'an
Bismillaah bi-idznillaah
Tahu bahwa muridnya yang sdg setoran al-Qur’an di hadapannya itu pucat-lesu gegara mengkhatamkan al-Qur’an dalam salat malamnya, Guru Sufi itu menasihatinya, “Nak, nanti malam, ketika salat malam, coba hadirkan di dalam hatimu seolah kau membaca al-Qur’an di hadapanku.”
“Baik, Guru.”
Malam itu, si murid benar-benar melakukan pesan Gurunya.
Paginya, Sang Guru bertanya, “Bagaimana, tadi malam kau bisa mengkhatamkan al-Qur’an dalam salatmu?”
“Tidak, Guru. Bahkan aku tidak mampu membaca lebih dari separuh al-Qur’an.”
“Baiklah. Nanti malam, coba hadirkan di dalam hatimu seolah kau membaca al-Qur'an di hadapan seorang sahabat Nabi yang menerima al-Qur’an langsung dari Nabi Saw.”
“Baik, Guru.”
“Bagaimana?” Tanya Sang Guru keesokan paginya.
“Aku hanya mampu membaca seperempat al-Qur’an saja , Guru.”
“Baiklah. Nanti malam, coba hadirkan di dalam hatimu seolah kau membaca al-Qur’an di hadapan Kanjeng Nabi Saw. yang kepada beliaulah al-Qur’an diturunkan.”
"Baik, Guru."
“Apa yang terjadi?” Tanya Sang Guru keesokan harinya.
“Aku hanya sanggup membaca satu juz, Guru.”
“Baiklah. Nanti malam, coba hadirkan di dalam hatimu seolah kau membaca al-Qur’an di hadapan Malaikat Jibril yang menjadi perantara turunnya al-Qur’an.”
"Baik, Guru."
“Bagaimana?” Tanya sang Guru keesokan paginya.
“Aku hanya mampu membaca satu surah, Guru.”
“Baiklah. Nanti malam, bertobatlah kau kepada Allah. Menghadaplah kepada-Nya. Ketahuilah, orang yang salat itu bermunajat kepada Tuhannya. Berdiri di hadapan-Nya. Perhatikan posisimu dan Tuhanmu saat membaca al-Qur’an. Renungkan apa yang kau baca. Tujuannya bukanlah menghimpun kata-kata, melainkan menghayati makna-makna!”
Malam itu, si murid melaksanakan perintah Gurunya. Keesokan harinya, ia jatuh sakit. Sang Guru datang menjenguknya. Melihat kedatangan Sang Guru, ia tak kuasa menahan air mata.
“Semoga Allah membalasmu dengan yang lebih baik, wahai Guru.” Ujarnya. “Baru tadi malam aku menyadari kedustaanku,” lanjutnya, “di saat aku menghadirkan Tuhan di dalam hatiku dan membayangkan seolah aku berada di hadapan-Nya. Membaca Kalam-Nya di ribaan-Nya. Saat sampai pada ‘iyyâ-Ka na’budu,’ (hanya kepada-Mu kami menyembah) aku menyadari kedustaanku. Aku malu mengatakan ‘iyyâ-Ka na’budu,’ sementara Dia mengetahui betul bahwa aku dusta. Aku pun ulangi berkali-kali. Sementara bacaanku masih sampai ‘Mâliki yawmi-d dîn,’ fajar telah menyingsing. Hatiku terbakar. Aku menghadap-Nya dengan kondisi yang amat tidak pantas.
Sejurus kemudian, si murid meninggal dunia. Selesai penguburan, Sang Guru datang. Dari atas permukaan tanah, Sang Guru memanggilnya, dan dari liang kubur terdengar jawabannya: “Aku hidup wahai Guru. Menghadap Tuhan Yang Maha Hidup. Dia sama sekali tidak menghisabku.”
Sang Guru bangkit, pulang. Tak lama, ia jatuh sakit dan segera menyusul (Cek: Faydlul Qadir, 1/190)
Ustadz Muhammad Al-Faiz
Komentar
Posting Komentar