Tidak Menjalankan Sunnah Adalah Dosa ?!
Apakah perkara yang dinilai sebagai Sunnah Nabi Muhammad -Shallallaahu`alaihiwassalam- itu mutlak wajib diikuti, sehingga bila tidak dilakukan maka otomatis akan berdosa?
Ini adalah sebuah pertanyaan urgen yang nampaknya belum bisa dipahami secara proporsional oleh jemaah salafi yang awam. Setiap perkara yang diberi label "Sunnah", mereka langsung menilai itu adalah sebuah perkara yang wajib diikuti. Bila tidak diikuti, maka konsekuensinya adalah dosa atau neraka.
Lantas, bagaimana pandangan para ulama tentang persoalan ini? Apakah mereka menilai Sunnah Nabi itu mutlak wajib diikuti, ataukah ada bentuk hukum lainnya?
Untuk menjelaskan ini, kita bisa melihat sedikit pandangan para ulama yang tergambar dari penjelasan imam an-Nawawy dalam al-Adzkaar, terkait etika dalam mengucapkan salam.
Dalam sebuah Hadis Shahih, Nabi menjelaskan bahwa orang yang berkenderaan dituntut untuk mengucapkan salam lebih dulu kepada pejalan kaki, dan penjalan kaki kepada yang duduk, serta yang berkelompok kepada yang tidak berkelompok (tunggal). Terkait Hadis Nabi ini, imam an-Nawawi menjelaskan:
قال أصحابنا وغيرهم : هذا المذكور هو السنة ، فلو خالفوا فسلم الماشي على الراكب ، أو الجالس عليهما، لم يكره .
"Para ulama Syafi`iyyah (Ashaab) dan lainnya mengatakan, urutan dalam pengucapan salam yang disebutkan di dalam Hadis itulah yang dinilai sebagai SUNNAH. Lantas, jika pihak-pihak yang disebutkan dalam Hadis itu tidak mengikuti (menyalahi) urutan tersebut, sehingga pejalan kaki mengucapkan salam lebih dulu kepada pengendara, atau yang duduk kepada pengendara dan pejalan kaki, maka tindakan semacam ini dinilai TIDAK MAKRUH".
Poinnya, tidak mengikuti apa yang sudah dinilai "Sunnah" dalam teks itu, ternyata hanya dihukumi 'tidak Makruh' yang jelas tidak berkonsekuensi dosa. Jika demikian halnya, maka berarti mengikuti perkara yang dinilai "Sunnah" itu belum tentu wajib secara otomatis.
Disamping itu, bila yang dimaksudkan dari kata "Sunnah" dalam teks itu adalah sebuah dalil hukum berbentuk ucapan, perbuatan atau ketetapan Nabi, maka berarti bahwa mengikuti apa yang telah diucapkan, dilakukan atau ditetapkan oleh Nabi itu juga belum tentu wajib secara otomatis, sebagaimana tidak mengikutinya juga belum tentu berdosa secara otomatis.
Begitu juga, bila yang dimaksudkan dari kata "Sunnah" dalam teks itu adalah, sejenis hukum yang didefinisikan dengan "berpahala bila dilakukan dan tidak berdosa bila tidak dilakukan", maka berarti bahwa mengikuti perkara yang dihukumi seperti ini juga tidak wajib, sebagaimana tidak mengikutinya juga tidak berarti dihukumi haram.
Lalu, apa sebetulnya yang membuat tindakan 'tidak mengikuti' Sunnah itu berkonsekuensi dosa? Jawabannya, bila "Thalab al-Fi`li" (perintah) atau "Thalab at-Tarki" (larangan) yang terkandung dalam Sunnah itu dinilai bersifat "Jaazim" (tegas), atau ada dalil pendukung yang menunjukkan hal seperti itu.
Wallaahua`lam
Buya Alfitri
Ini adalah sebuah pertanyaan urgen yang nampaknya belum bisa dipahami secara proporsional oleh jemaah salafi yang awam. Setiap perkara yang diberi label "Sunnah", mereka langsung menilai itu adalah sebuah perkara yang wajib diikuti. Bila tidak diikuti, maka konsekuensinya adalah dosa atau neraka.
Lantas, bagaimana pandangan para ulama tentang persoalan ini? Apakah mereka menilai Sunnah Nabi itu mutlak wajib diikuti, ataukah ada bentuk hukum lainnya?
Untuk menjelaskan ini, kita bisa melihat sedikit pandangan para ulama yang tergambar dari penjelasan imam an-Nawawy dalam al-Adzkaar, terkait etika dalam mengucapkan salam.
Dalam sebuah Hadis Shahih, Nabi menjelaskan bahwa orang yang berkenderaan dituntut untuk mengucapkan salam lebih dulu kepada pejalan kaki, dan penjalan kaki kepada yang duduk, serta yang berkelompok kepada yang tidak berkelompok (tunggal). Terkait Hadis Nabi ini, imam an-Nawawi menjelaskan:
قال أصحابنا وغيرهم : هذا المذكور هو السنة ، فلو خالفوا فسلم الماشي على الراكب ، أو الجالس عليهما، لم يكره .
"Para ulama Syafi`iyyah (Ashaab) dan lainnya mengatakan, urutan dalam pengucapan salam yang disebutkan di dalam Hadis itulah yang dinilai sebagai SUNNAH. Lantas, jika pihak-pihak yang disebutkan dalam Hadis itu tidak mengikuti (menyalahi) urutan tersebut, sehingga pejalan kaki mengucapkan salam lebih dulu kepada pengendara, atau yang duduk kepada pengendara dan pejalan kaki, maka tindakan semacam ini dinilai TIDAK MAKRUH".
Poinnya, tidak mengikuti apa yang sudah dinilai "Sunnah" dalam teks itu, ternyata hanya dihukumi 'tidak Makruh' yang jelas tidak berkonsekuensi dosa. Jika demikian halnya, maka berarti mengikuti perkara yang dinilai "Sunnah" itu belum tentu wajib secara otomatis.
Disamping itu, bila yang dimaksudkan dari kata "Sunnah" dalam teks itu adalah sebuah dalil hukum berbentuk ucapan, perbuatan atau ketetapan Nabi, maka berarti bahwa mengikuti apa yang telah diucapkan, dilakukan atau ditetapkan oleh Nabi itu juga belum tentu wajib secara otomatis, sebagaimana tidak mengikutinya juga belum tentu berdosa secara otomatis.
Begitu juga, bila yang dimaksudkan dari kata "Sunnah" dalam teks itu adalah, sejenis hukum yang didefinisikan dengan "berpahala bila dilakukan dan tidak berdosa bila tidak dilakukan", maka berarti bahwa mengikuti perkara yang dihukumi seperti ini juga tidak wajib, sebagaimana tidak mengikutinya juga tidak berarti dihukumi haram.
Lalu, apa sebetulnya yang membuat tindakan 'tidak mengikuti' Sunnah itu berkonsekuensi dosa? Jawabannya, bila "Thalab al-Fi`li" (perintah) atau "Thalab at-Tarki" (larangan) yang terkandung dalam Sunnah itu dinilai bersifat "Jaazim" (tegas), atau ada dalil pendukung yang menunjukkan hal seperti itu.
Wallaahua`lam
Buya Alfitri
Komentar
Posting Komentar