Dimasa Kholifah Mengangkat Pemimpin Kafir ?!

Bismillaah bi-idznillaah


Catatan Ketiga: Menganggap kebijakan Khalifah sudah pasti sesuai dengan aturan agama.

Dalam postingan Nadirsyah di bawah ini, sepertinya Nadirsyah menganggap kebijakan Khalifah Abbasiyah dan lainnya, dipastikan sudah sesuai dengan aturan agama.

Jika ada seorang khalifah membuat sebuah kebijakan, maka kebijakan itu dipastikan sudah sesuai dengan syariat, tanpa lagi memperhatikan sejauh mana respon dan tanggapan para ulama terhadap kebijakan tersebut.

Asumsi saya ini berangkat dari pandangan beliau yang memposisikan sejajar, antara kebijakan khalifah Umar dengan para khalifah yang telah disebutkannnya, tanpa melihat sejauh mana tanggapan dan penilaian para ulama atas kebijakan para khalifah tersebut.

Kalau Nadirsyah beralasan bahwa kondisi dan kontekslah yang membedakan dua kebijakan ini, maka itu adalah sebuah alasan yang dipaksakan. Alasannya, jika memang itu yang menjadi alasan, maka seharusnya Umar-lah yang lebih berhak secara nalar untuk menggunakan keahlian non-muslim. Sebab, kondisi dan konteks di era Umar jelas lebih menuntut untuk menggunakan keahlian non-muslim dalam menata manajemen pemerintahan, di saat kekuasaan Islam sedang berkembang pesat, dan ditambah lagi ketersediaan SDM di kalangan umat Islam untuk persoalan manajemen negara belum begitu banyak.

Adapun di era Abbasiyah, jelas ketersedian SDM dari umat Islam sudah banyak, sebagai hasil dari adaptasi dan pembelajaran sejak era Umar bin Khatthaab. Nah, dalam kondisi seperti itu, kenapa justru khalifah Abbasiyah yang Nadirsyah sebutkan itu justru masih mengangkat non-muslim dalam jabatan strategis pemerintahan mereka? Bukankah itu justru akan membawa pada kondisi "ketergantungan" yang katanya dikhwatirkan oleh Umar, seperti yang diperkirakan oleu Nadirsyah sendiri? :)

Disamping itu, keputusan Umar untuk tidak mengangkat non-muslim itu jelas tidak mendapatkan kritikan lagi, setelah terjadi perdebatan antara beliau dengan Abu Musa. Berapa banyak sahabat senior yang masih hidup dan tinggal di kota Madinah saat itu, tapi kenapa kok tidak terdengar kritikan mereka pada keputusan Umar? Bahkan, khalifah Utsman dan Ali pun tidak menentang, atau menetapkan kebijakan sebaliknya di masa pemerintahan mereka.

Adapun keputusan para khalifah Abbasiyah yang disebutkan Nadirsyah, itu justru menuai kritik dan konflik dalam kehidupan bernegara saat itu.

Dalam kitab Ahkaam Ahl Dzimmah, Ibnul Qayyim menceritakan bagaimana sikap beberapa khalifah Abbasiyah termasuk al-Muqtadir bil-Laah, yang berbalik memecat pejabat non-muslim yang telah diangkat di era khalifah sebelumnya, atau diangkat langsung oleh mereka sendiri. Ibnul Qayyim menceritakan, khalifah al-Muqtadir bil-Laah memecat pejabat non-muslim, melarang pengangkatan mereka sebagai pejabat, bahkan sampai ada yang dibunuhnya.

Lebih dari itu, Ibnul Qayyim melansir beberapa nama khalifah Abbasiyah yang mengikuti kebijakan Umar dalam masalah ini, seperti khalifah Abu Ja`far al-Manshur yang langsung mengeluarkan surat pemecatan para pejabat non-muslim dari pemerintahannya, khalifah al-Mahdy yang dikritik dan disarankan oleh para ulama di masanya agar memecat para pejabatnya dari kalangan non-muslim yang hegemoninya sudah kuat saat itu, hingga akhirnya sang khalifah sadar dan melakukan perubahan drastis dalam hal ini.

Begitu juga dengan khalifah Harun ar-Rasyid di masa pemerintahannya. Beliau menjauhkan ahl-Dzimmah dari jabatan pemerintahan, bahkan memerintahkan untuk menghancurkan gereja, serta membedakan pakaian mereka dengan pakaian umat Islam saat itu. Dahsyatnya, dalam melakukan kebijakan-kebijakan seperti ini, Harun berpijak pada fatwa para ulama yang hidup di masanya.

Begitu juga dengan khalifah al-Mutawakkil, yang menjuahkan ahl-Dzimmah dari jabatan negara, dan membedakan busana dan kenderaan mereka dari busana umar Islam. Padahal, saat itu hegemoni ahl-Dzimmah sudah kuat dan menempati posisi penting dalam pemerintahan.

Seperti halnya al-Mutawakkil, khalifah al-Aamir bil-Laah dan ar-Raadhy bil-Laah juga mengalami kondisi yang sama, sehingga mendapatkan keluhan dari umat Islam saat itu, dan pada akhirnya mereka pun membersihkan jabatan pemerintahan dari kalangan non-muslim.

Ini adalah data historis yang mungkin tidak terbaca, atau sengaja ditutup oleh Nadirsyah. Kalau Nadirsyah menjadikan data hisoris sebagai argumen, maka data historis di atas justru lebih tepat untuk dijadikan argumen, karena sudah menyentuh ranah "sebab-akibat".

Saya rasa, kalau Nadirsyah mau membaca dengan seksama keterangan Ibnul Qayyim tentang nasib dan kebijakan para khalifah di atas, maka setidaknya Nadirsyah akan menemukan dua fakta historis, yaitu:

a). Pengangkatan non-muslim sebagai pejabat negara, tidak sepenuhnya disetujui dan direstui oleh umat Islam saat itu. Cuma mungkin karena keegoan atau ketidaktahuan sang khalifah, akhirnya hal itu terjadi.

b). Pengangkatan non-muslim ternyata berujung pada konflik sosial, dan hegemoni politik merela akhirnya menyengsarakan sang khalifah secara khusus, dan umat Islam secara umum.

Jadi, belajarlah dari fakta historis, jangan hanya terpaku pada teori dan berkutat pada ranah konsep semata. Kata orang, jika anda tidak mau mendengarkan saran orang lain, maka sejarahlah yang akan membuat anda tersadar.




Wallaahua`lam

NB:
Yang berteman dengan profesor Nadirsyah, mohon coretan saya ini di-share-kan kepadanya.

Begitu juga, bagi yang berteman dengan Nusron Wahid atau Guntur Romli, mohon juga coretan ini disampaikan kepada mereka. Terimakasih.

Buya Alfitri

Komentar

Postingan Populer