Imam Mawardy "Boleh Memilih Pemimpin Kafir"?!

Di bawah ini, ada satu scanan photo dari status Sumanto Al Qurtuby, terkait pandangannya tentang pejabat non-muslim dalam pemerintahan Islam.

Bagi orang awam atau miskin leteratur, apa yang ditulis Sumanto ini berkemungkinan besar akan langsung diterima. Walhasil, korban dan tangkapan dari postingannya pun besar. Padahal, kalau coretannya ini dibedah secara ilmiah, maka yang akan terlihat hanyalah kotoran kepalsuan yang dipoles dengan bungkus kutipan ilmiah.

Untuk membuktikan apa yang saya sampaikan ini, maka silahkan diperhatikan dua poin catatan saya berikut ini, yang akan saya posting secara terpisah, Insyallah.



Catatan Pertama
Di ujung postingan, Sumanto terlihat sengaja menyinggung pandangan imam al-Mawardy, dalam karyanya tentang konsep ketatanegaraan dalam Islam, berjudul "al-Ahkaam as-Sulthaaniyyah".

Menurutnya, imam al-Mawardy membenarkan atau membolehkan adanya anggota kabinet atau menteri dari kalangan non-muslim dalam pemerintahan Islam. Katanya, ini disebut dengan istilah "wizarat tanfidz".

Lantas, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah memang seperti itu pandangan imam al-Mawardy dalam kitabnya itu? Dan apakah tepat bila jabatan menteri atau anggota kabinet saat ini disamakan dengan jabatan "wizarat tanfidz" yang disampaikan Mawardy?

Untuk menjawab ini, kita harus mulai menelusuri terlebih dahulu pengertian "Wizarat Tanfidz" yang disampaikan oleh imam al-Mawardy itu sendiri. Lantaran redaksi definisinya panjang, maka saya persilahkan dibaca sendiri dalam photo scanan teks kitabnya di bawah ini.




Pada intinya, "Wizarat Tanfidz" menurut beliau adalah orang yang diangkat oleh khalifah, dengan berperan hanya sebagai mediasi antara sang khalifah dengan rakyat, atau dengan pejabat negara yang menangani bidang kenegaraan.

Tugas orang ini hanyalah sebagai penyampai perintah atau pesan khalifah, serta informan khalifah. Dia tidak punya hak untuk ikut campur dalam menetapkan atau merubah kebijakan khalifah, serta tidak berstatus sebagai pemegang kebijakan, atau pengendali kebijakan tersebut.

Kalau kita lihat peran yang tidak signifikan dan krusial ini, maka logis rasanya bila imam Mawardy menilai pemangku jabatan seperti ini tidak harus orang yang beragama Islam, sehingga kalangan non-muslim yang tunduk dengan penguasa Islam (ahl-Dzimmah) boleh memangku posisi ini.

Nah, jika kita tarik gambaran jabatan "widzarat tanfidz" yang dijelaskan Mawardy ini ke dalam sistem atau struktur pemerintahan kita saat ini,  maka dengan pasti kita bisa mengatakan bahwa apa yang kita sebut sebagai "menteri" atau "anggota kabinet" saat ini, samasekali bukanlah jabatan "wizarat tanfidz" yang dimaksudkan oleh Mawardy tersebut. Sebab, tugas menteri atau anggota kabinet sekarang ini tidak lagi sebagai mediasi, melainkan sebagai perumus kebijakan, pengelola, pengawas sekaligus pelaksananya.




Kalau diperhatikan lebih seksama, tugas dan peran menteri atau anggota kabinet seperti di atas itu, sebenarnya sudah sama dengan peran atau posisi jabatan yang disebut Mawardy dengan nama "wizarat tafwiidh". Dan untuk memangku jabatan yang satu ini, Mawardy secara tegas mengatakan harus orang yang beragama Islam.

Ketika seorang pemangku "wizarat tafwidh" di pandangan Mawardy itu harus seorang muslim, maka tidak mungkin rasanya imam Mawardy akan membolehkan ahl-Dzimmah (bukan sembarang non-muslim) memangku jabatan yang menentukan kebijakan di berbagai bidang saat ini.

Jadi, kesalahan Sumanto dalam hal ini adalah, kurang menangkap apa yang dimaksudkan oleh imam Mawardy dari tulisannya, ditambah pula salah kaprah dalam mengaktualisasikannya. Sudah salah dan bengkok, justru malah membuat orang lain ikutan salah dan bengkok.

Wallaahua`lam

NB:
Yang berteman dengan si Sumanto yang bersangkutan ini, dimohon untuk men-share coretan ini ke media sosial miliknya. Terimakasih.


Buya Alfitri

Komentar

Postingan Populer