Mengambil Teman Setia Dilarang, Apalagi Menjadikan Pemimpin !!

Alhamdulillah, setelah mendapatkan salinan teksnya, barulah saya bisa mengomentari tulisan Nadirsyah di bawah ini, secara runut kata-perkata dan kalima-perkalimat. Selamat menikmati. Bismillaah.

[Nadirsyah (ND)]:
Logika dan Illat Hukum
Kalau dijadikan teman setia atau sekutu saja dilarang APALAGI dijadikan pemimpin. Benar begitu? Tidak benar!

[Alfitri (AL)]:
Justru penilaian "tidak benar" anda yang pantas dinilai tidak benar.

[ND]:
Dalam usul al fiqh ini namanya menggunakan qiyas awlawi. Syaratnya illatnya harus sama. Bilang ah gak boleh kpd ortu, apalagi memukul. Illatnya adalah menyakiti: blg ah dan memukul sama2 menyakiti.

[AL]:
Benar. Tapi, yang menjadi poin penting adalah menentukan `illat dari sebuah hukum itu sendiri. Jadi, sebelum anda meyalahkan sebuah "qiyas awlawy" lantaran anda menilai `illat-nya tidak sama, maka pastikan terlebih dahulu; apakah yang anda klaim sebagai `Illat itu memang benar-benar `illat dari hukumnya.

[ND]:
Apa illat larangan mengambil yahudi dan nasrani sbg awliya? Berkhianat kpd umat (ingat asbabun nuzul ayat san penafsiran para ulama soal ini yg sdh pernah saya tulis panjang lebar sebelumnya).

[AL]:
Nah, apa yang anda klaim sebagai `illat ini justru bukanlah `illat dari keharaman menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai "Auliyaa'".

Kalau memang itu `illat-nya, maka kenapa Umar tetap menyuruh Abu Musa dan Mu`awiyah memecat pejabat dari non-muslim (al-Kaatib) yang telah mereka angkat, sementara saat itu tidak ada samasekali pengkhianatan dari Abu Musa dan Mua`wiyah?

Jika memang pengkhianatan yang menjadi `illat-nya, maka kenapa justru banyak ahli tafsir seperti Ibn Katsir, al-Qurthuby, Fakhruddin ar-Raazy dan lain-lainnya, sengaja menyebutkan riwayat tentang kisah Umar dengan Abu Musa dan Mu`awiyah? Padahal, tidak ada tindakan pengkhianatan yang tercium dari Abu Musa, Mu`wiyah, atau para gubernur Umar lainnya, bahkan dari kalangan pejabat non-muslim yang mereka angkat itu sendiri. Itu jelas tidak ada kolerasi.

Sekali lagi, bila memang pengkhianatan yang menjadi `illat-nya, maka kenapa Umar sampai menyurati para gubernurnya agar jangan sampai mengangkat non-muslim sebagai pejabat negara?

Jika betul yang menjadi `illat-nya adalah pengkhianatan, maka pengkhianatan dari siapa?

Jika dari kalangan muslimnya, maka berarti Abu Musa dan Mu`awiyah itu sudah dinilai pengkhianat oleh Umar. Faktanya, tidak ada ucapan Umar atau indikasi yang menunjukkan pengkhianatan mereka berdua.

Sebaliknya, jika yang menjadi `illat di situ adalah pengkhianatan pejabat non-muslim yang diangkat Abu Musa dan Mu`awiyah, maka lagi-lagi tidak indikasinya.

[ND]:
Jadi, berteman atau  bersekutu dg non-muslim boleh selama tdk berkhianat kpd umat, APALAGI menjadikannya sbg pemimpin (asalkan tdk berkhianat kpd umat), tentu juga dibolehkan.

[AL]:
Dari pernyataan anda ini, terlihat bahwa yang menjadi `illat menurut anda adalah, pengkhianatan dari pihak non-muslimnya. Bukankah begitu? :)

Jika iya, maka saya kembali bertanya. Kalau memang seperi itu, maka kenapa Umar justru bersikap seperti itu pada Abu Musa, Mu`awiyah dan para gubernurnya yang lain, sementara pejabat non-muslim yang mereka angkat itu belum terindikasi berkhianat.

Bahkan, kenapa Umar sampai menyurati para gubernurnya, sementara belum ada laporan adanya pengkhianatan dari non-muslim yang sudah mereka angka, terlebih lagi bila non-muslimnya belum mereka angkat?

Bahkan, imam al-Qurthuby secara tegas dan tanpa pengecualian, mengatakan:

الثانية : نهى الله عز وجل المؤمنين بهذه الآية أن يتخذوا من الكفار واليهود وأهل الأهواء دخلاء وولجاء ، يفاوضونهم في الآراء ، ويسندون إليهم أمورهم

Satu lagi, ketika menyebutkan riwayat Umar berdebat dengan Abu Musa terkait tindakannya itu, Ibn Katsir pun menyatakan dengan tegas dan tanpa pengecualian:

ففي هذا الأثر مع هذه الآية دليل على أن أهل الذمة لا يجوز استعمالهم في الكتابة التي فيها استطالة على المسلمين ، واطلاع على دواخل أمورهم ، التي يخشى أن يفشوها إلى الأعداء من أهل الحرب

Coba anda perhatikan. Ibn Katsir tidak menyebut pengecualian, bahkan beliau hanya menyebut "dikhawatirkan akan membocorkan". Jadi, dengan atas dasar kekhawatiran akan berkhianat saja, Ibn Katsir sudah melarang pengangkatan pejabat non-muslim.

Anda mengatakan, kalau tidak berkhianat maka boleh, sedangkan Ibn Katsir mengatakan, tidak boleh karena dikhawatirkan akan membocorkan rahasia umat kepada musuh (pengkhianatan). Beda, kan?

[ND]:
Jadi boleh saja anda punya sahabat, boss atau Gubernur yg non-muslim selama tdk melanggar  illat larangan ayat.

[AL]:
Sekalian saja anda katakan boleh mengangkat non-muslim sebagai pejabat "wizaarah at-Tafwiidh", atau juga sebagai khalifah, selama tidak melanggar `illat larangan ayat. Berani? :)

[ND]:
Darimana diambil illat larangan itu adalah berkhianat, bukan semata soal kekufurannya?

1. Periksa 3 asbabun nuzul yg berbeda yg semuanya mengisyaratkan soal al-muwalah yang meninggalkan umat (min dunil mu'minin).

[AL]:
Saya ingin kembali bertanya. Jika 3 Asbab an-Nuzuul yang anda maksudkan itu mengisyaratkan "Muwaalaah" yang meninggalkan umat, maka kenapa para ulama Tafsir menyebutkan riwayat-riwayat tentang Umar yang melarang Abu Musa, Mu`awiyah dan gubenur lainnya, mengangkat pejabat non-muslim?

Kalau anda berdalih riwayat-riwayat itu tidak valid, maka saya katakan bahwa ulama Hadis sekelas Ibn Katsir sengaja memasukkan riwayat palsu atau lemah dalam tafsirnya. Begitu juga dengan ulama sekelas Ibnul Qayyim al-Jauzy ikut mengutipnya tanpa ada kritikan atas validitasnya.

Adapun soal riwayat itu tidak ada dalam referensi utama hadis, ya itu tidak lantas sudah pasti menunjukkan ketidakvalidannya.

[ND]:
2. Imam al-Razi mengatakan yg tidak boleh itu mengangkat non-muslim sendirian. Tanpa didampingi muslim.

[NA]:
Saya belum menemukan sumber kutipan anda ini. Karena itu, sudah tugas anda menjelaskan sumbernya. Sebab, dalam imu "Munaazharah", kita belum boleh mengkritisi konten kutipan, sebelum sumber kutipan itu belum disebutkan oleh lawan debat.

[ND]:
Dengan demikian menurut beliau kata kuncinya adalah tidak meninggalkan/berkhianat kepada umat.

[AL]:
Kalau begitu pandangan ar-Raazy menurut anda, lantas kenapa ar-Raazy melampirkan riwayat Umar dengan Abu Musa, saat menafsirkan ayat 118 dari surat al-Imran dan ayat 51 dari surat al-Maidah, sementara dalam riwayat itu tidak ada indikasi pengkhianatan pada umat?

[ND]:
Kalau illatnya soal kekufuran maka penggunaan qiyas awlawi dengan mengatakan mengangkat non-muslim sbg sekutu atau kawan setia saja tdk boleh apalagi sbg pemimpin, maka secara mutlak diharamkan memilih non muslim sbg pemimpin.

[AL]:
Yang benar, `illat-nya adalah ber-muwaalah kepada orang kafir, bukan semata-mata kekufuran.

Untuk memahami ini, anda mesti pahami dulu maksud dari "Muwaalaah" aecara tepat, agar anda jangan berkesimpulan nantinya berteman biasa dengan non-muslim yang bukan "Harby" itu juga dilarang.

[ND]:
Kenyataannya Imam al -Mawardi membolehkan non-muslim menjabat sebagai wazir tanfidz, karena wazir tafwidnya Muslim.

[AL]:
Kalau demikian halnya, maka kenapa al-Mawardy hanya membolehkan untuk jabatan "wizarat tanfiidz" saja, kalau memang `illat-nya hanya karena pengkhianatan?

Seharusnya dengan logika anda ini, imam Mawardy juga harus membolehkan untuk jabatan "Wizaarah at-Tafwiidh", karena penghianatan tidak hanya ada pada jabatan "Wizaarat tanfiidz".

[ND]:
Begitu juga Syekh Ali Gomaa membolehkan wakil presiden non-Muslim mendampingi presiden yg muslim. Syekh Yusuf Qardhawi jg membolehkan hal serupa. Artinya illat kekufuran sbg larangan gugur di sini. Illat yg tepat adalah tanpa berkhianat/meninggalkan umat.

[AL]:
Pertama, saya belum tahu sumber yang anda rujuk dalam menyampaikan informasi ini.

Kedua, kalau memang boleh untuk wakil presiden, lantas kenapa jadi presiden tidak boleh, sementara bisa jadi non-muslin yang jadi presiden itu juga tidak berkhianat?

[ND]:
Itulah sebabnya dalam sejarah kita mendapati fakta ini:

[AL]:
Ya, tapi fakta historis itu tidak sertamerta diposisikan bak dalil atau bukti hukum. Sebab, bisa jadi ada hal-hal penentu dari fakta itu tidak terekam dalam lembaran sejarah.

[ND]:
Pada masa kekhalifahan Mu'awiyah, yaitu pada khalifah Umawi pertama Mu'awiyah bin Abu Sufyan (41-61H/661-680M), mengangkat bendahara seorang pendeta Kristen dari Damaskus yaitu pendeta John.

[AL]:
Anda harus jelaskan referensinya, agar faktanya teruji. Disamping itu, agar bisa dichek kevalidannya dan diuji kebenarannya.

Itu pertama. Yang kedua, kalau pun benar faktanya begitu, bisa jadi itu adalah ijtihad pribadi Mua`wiyah dan dinilai salah, lantaran banyak sahabat Nabi tidak melakuan itu, terlebih khalifah yang empat.

[ND]:
Begitu juga pada masa khalifah 'Abbasiyah dan di bawah kekuasaan sultan Buwayhiyah, menteri luar negeri, menteri urusan perang dan pertahanan, serta menteri keuangannya sering kali adalah orang Kristen.

[AL]:
Pertama, jika informasi ini fakta historis, maka yang perlu dikeahui adalah, bahwa kebijakan khalifah itu belum tentu sesuai dengan syariat. Bisa jadi kebijakan itu diputuskan sepihak, atau sudah dikritik oleh ulama saat itu.

Kedua, jabatan-jabatan di atas jelas bukan lagi masuk kategori jabatan "wizaarat tanfiid", sehingga al-Mawardy pun jelas akan mengatakan tidak boleh. Lantas, pendapat ulama siapa lagi yang anda rujuk?

[ND]:
Di bawah kekuasaan khalifah 'Abbasiyah ke-16 al-Mu'tadhid (Abu'l-Abbas al-Mu'tadid bi-llah Ahmad ibn Talha al-Muwaffaq) (892-902M), seorang Kristen taat bernama 'Umar bin Yusuf, diangkat sebagai gubernur Provinsi al-Anbar, Irak. Nashr bin Harun, juga seorang Kristen, bahkan dipercaya menjadi perdana menteri di masa 'Adud ad-Daulah (949-982M), penguasa terbesar Dinasti Buyid di Iran.

[AL]:
Bukankah perdana menteri dan gubernur itu sudah masuk dalam jabatan yang disyaratkan muslim oleh imam Mawardy?

[ND]:
Di bidang militer, sebuah lembaga yang sangat penting dalam sebuah pemerintahan, tentara Muslim lebih dari sekali dipimpin oleh seorang jenderal Kristen; contohnya seperti pada masa khalifah 'Abbasiyah ke-15 al-Mu'tamid (Abul-Abbas Ahmad al-Mu'tamid) (870-982), ketika komando dipercayakan kepada seorang opsir militer Kristen bernama Israel, atau pada masa khalifah 'Abbasiyah ke-18 al-Muqtadir (Ja’far al-Muqtadir Billah ibn al-Mu’tadid ibn Ahmad ibn al-Mutawakkil) (908-932), ketika seorang Kristen juga ditugaskan mempertahankan Kekhalifahan.

[AL]:
Pertama, kebijakan khalifah di atas jelas sudah melenceng dari semua pendapat terkait hukum pengangkatan non-muslim. Dan lagi-lagi kebijakan khalifah itu tidak otomatis sesuai dengan hukum agama.

Kedua, saya sudah melampirkan nama-nama khalifah Abbasiyah yang justru memecat pejabat non-muslim, setelah mereka sadar dan dikritisi oleh rakyat atau ulama. Silahkan anda baca hal ini dalam kitab Ahkaam Ahl ad-Dzimmah yang ditulis oleh Ibnul Qayyim al-Jauziyyah.

Wa Allahu a'lam bi al-Shawab









NB:
Yang berteman dengan Nadirsyah, mohon coretan saya ini di-share kepada beliau. Terimakasih.

Buya Alfitri

Komentar

Postingan Populer