Penegakan Khilafah di Indonesia ?

Demokrasi pancasila adalah sistem kufur yang harus ditolak dan diganti dengan sistem khilafah ?



Demikianlah diantara kedangkalan pemikiran islam garis keras pengusung khilafah hingga berujung pada tuduhan liberal, antek kafir barat, dan sebagainya

Boleh-boleh saja anda berasumsi demikian, tapi sebelum demokrasi pancasila ini anda ganti dengan sistem khilafah, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan secara matang, yaitu:

(1). Pembentukan pemerintahan agama disuatu daerah, akan membunuh agama itu sendiri di daerah lain. menegakkan sistem pemerintahan islam pada suatu daerah di Indonesia, sama halnya dengan membunuh Islam di daerah-daerah lain seperti di Irian Jaya, di Flores, di Bali dan lain sebagainya. daerah basis non Islam akan menuntut hal yang sama dalam proses penegakan agamanya masing-masing. bentuk negara nasional adalah wujud kearifan para pemimpin agama di indonesia, tidak ingin terjebak pada institusionalisasi agama, sebagai tuntutan dari otonomi daerah.

(2). Kesiapan masyarakat untuk melaksanakan syariat Islam secara penuh, terutama untuk menerapkan hukum pidana Islam. seperti bagi pezina dirajam, pencuri dipotong tangan, sanksi bagi yang tidak melaksanakan sholat dan zakat dst. penerapan syariat Islam secara totalitas tanpa mempertimbangkan kesiapan umat Islam akan menyebabkan banyak umat Islam yang tidak mengakui sebagai seorang muslim karena takut terhadap sanksi hukum tersebut. jumlah 90 persen umat Islam akan mengalami penurunan secara drastis hingga penerapan itu justru merugikan umat Islam sendiri.

(3). Sulitnya mencari tolok ukur apakah yang dilakukan oleh seorang khalifah itu merupakan suatu langkah politik atau sekedar pelampiasan ambisi kekuasaan, atau itu memang benar-benar melaksanakan perintah Allah ketika terjadi kekerasan dari khalifah yang berkuasa terhadap para ulama sebagaimana dialami oleh imam empat madzhab dan para pengikut mereka. sejarah mencatat tidak sedikit dari para ulama yang mendapat perlakuan dzalim, diborgol, dipenjara, dan dianiaya, sementara khalifah dalam menjalankan hukuman tersebut melakukannya atas nama agama.

(4). Jika memang disepakati ide formalisasi syariah, maka teori syariah manakah yang akan diterapkan. Apakah model Wahabi yang memberangus ajaran-ajaran sebagaimana diamalkan oleh mayoritas umat islam dinegeri ini seperti tawassul, tahlil, talqin, dan lain sebagainya atau sistem Syiah yang telah membunuh ratusan ulama dan umat Islam, menghancurkan masjid-masjid Ahlussunnah sebagaimana yang terjadi di teluk Persi, dibagian wilayah Timur Tengah, dan belahan lain di dunia ini, sedangkan pemerintah yang berkuasa melakukan semua itu, lagi-lagi atas nama agama.

(5). Tidak adanya pijakan dasar (dalil) syar'i dan qoth'i tentang sistem khilafah dalam kacamata agama. Adapun yang wajib dalam pandangan agama, adalah adanya pemerintahan yang menjaga kesejahteraan dan kemaslahatan dunia, terlepas dari apa dan bagaimana bentuk sistem pemerintahannya. 

Besar keyakinan kami bahwa ulama-ulama kami di masa kemerdekaan saat itu lebih mengerti kemaslahatan tentang bagaimana format terbaik negara ini. Dan kita merasakan sampai kini dengan bentuk negara NKRI yang tidak sampai mengarah kepada disintegarasi bangsa, tidak ada separatisme yang sampai melepaskan diri dari NKRI, tidak ada pemperongkatan yang menjatuhkan pemerintahan yang sah, tidak ada perang saudara yang tak berkesudahan dan sebagainya. Maka, menerima 4 pilar Indonesia adalah jalan terbaik mencari hidup damai dengan penduduk bangsa ini, sebagaimana telah dijalankan oleh Rasulullah Saw dalam perjanjian damai Hudaibiyah:
وَظَهَرَ أَنَّ رَأْيَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الصُّلْح أَتَمّ وَأَحْمَد مِنْ رَأْيهمْ فِي الْمُنَاجَزَة . فتح الباري لابن حجر – ج 9 / ص 458

Telah tampak bahwa pandangan Rasulullah dalam berdamai adalah lebih sempurna dan terpuji, daripada pendapat mereka untuk melanjutkan perang. (Fath al-Bari 9/458).

Bagi di luar kami, untuk negara Indonesia dirubah dengan sistem Syariat Islam akan berani membela mati-matian, meski setelah itu akan berlanjut perang dan disintegrasi bangsa, bahkan mungkin perang saudara seperti yang terjadi di Timur Tengah. Namun bagi kami akan memilih opsi perjanjian damai, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Saw, meski diprotes oleh Sayidina Umar bin Khattab:

عَنْ أَبِي وَائِلٍ قَالَ كُنَّا بِصِفِّينَ فَقَالَ رَجُلٌ أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يُدْعَوْنَ إِلَى كِتَابِ اللَّهِ . فَقَالَ عَلِىٌّ نَعَمْ . فَقَالَ سَهْلُ بْنُ حُنَيْفٍ اتَّهِمُوا أَنْفُسَكُمْ فَلَقَدْ رَأَيْتُنَا يَوْمَ الْحُدَيْبِيَةِ – يَعْنِى الصُّلْحَ الَّذِى كَانَ بَيْنَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – وَالْمُشْرِكِينَ – وَلَوْ نَرَى قِتَالاً لَقَاتَلْنَا ، فَجَاءَ عُمَرُ فَقَالَ أَلَسْنَا عَلَى الْحَقِّ وَهُمْ عَلَى الْبَاطِلِ أَلَيْسَ قَتْلاَنَا فِى الْجَنَّةِ وَقَتْلاَهُمْ فِى النَّارِ قَالَ « بَلَى » . قَالَ فَفِيمَ أُعْطِى الدَّنِيَّةَ فِى دِينِنَا ، وَنَرْجِعُ وَلَمَّا يَحْكُمِ اللَّهُ بَيْنَنَا . فَقَالَ « يَا ابْنَ الْخَطَّابِ إِنِّى رَسُولُ اللَّهِ وَلَنْ يُضَيِّعَنِى اللَّهُ أَبَدًا » . فَرَجَعَ مُتَغَيِّظًا ، فَلَمْ يَصْبِرْ حَتَّى جَاءَ أَبَا بَكْرٍ فَقَالَ يَا أَبَا بَكْرٍ أَلَسْنَا عَلَى الْحَقِّ وَهُمْ عَلَى الْبَاطِلِ قَالَ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ إِنَّهُ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَلَنْ يُضَيِّعَهُ اللَّهُ أَبَدًا . فَنَزَلَتْ سُورَةُ الْفَتْحِ . رواه البخارى

Diriwayatkan dari Abu Wail, ia berkata:“Kami berada dalam Shiffin, ada seseorang berkata: Apakah kamu melihat orang-orang yang diajak kembali ke al-Quran. Lalu Ali menjawab: Ya. Sahal bin Hunaif berkata: Berprasangkalah pada diri kalian. Sungguh saya melihat diri kami dalam perjanjian Hudaibiyah yang dilakukan oleh Nabi Saw dan orang musyrikin. Jika kami berpendapat perang maka kami akan berperang. Kemudian Umar berkata: Bukankah kita berada diatas kebenaran dan mereka di jalan yang salah? Bukankah orang yang terbunuh diantara kami ada di surga dan yang terbunuh dari mereka ada di neraka? Nabi menjawab: Ya. Umar berkata:“Dimanakah saya meletakkan kehinaan dalam agama kita? Dan kita kembali sebelum Allah memberi keputusan diantara kita. Nabi Saw bersabda: Wahai putra Khattab. Saya adalah utusan Allah. Allah tidak akan menyia-nyiakan saya selamanya”. Umar lalu kembali dengan amarah dan tidak bisa sabar hingga ia datang kepada Abu Bakar, Umar berkata: “Wahai Abu Bakar, Bukankah kita berada diatas kebenaran dan mereka di jalan yang salah?” Abu Bakar berkata: “Wahai putra Khattab. Muhammad adalah utusan Allah. Allah tidak akan menyia-nyiakan Muhammad selamanya”. Maka turunlah surat al-Fath” (HR al-Bukhari)

Maslahat atau nilai plus yang dipilih oleh Rasulullah dalam perjanjian damai ini disampaikan oleh Imam an-Nawawi:

قَالَ الْعُلَمَاء : وَالْمَصْلَحَة الْمُتَرَتِّبَة عَلَى إِتْمَام هَذَا الصُّلْح مَا ظَهَرَ مِنْ ثَمَرَاته الْبَاهِرَة ، وَفَوَائِده الْمُتَظَاهِرَة ، الَّتِي كَانَتْ عَاقِبَتهَا فَتْح مَكَّة ، وَإِسْلَام أَهْلهَا كُلّهَا ، وَدُخُول النَّاس فِي دِين اللَّه أَفْوَاجًا ؛ وَذَلِكَ أَنَّهُمْ قَبْل الصُّلْح لَمْ يَكُونُوا يَخْتَلِطُونَ بِالْمُسْلِمِينَ ، وَلَا تَتَظَاهَر عِنْدهمْ أُمُور النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا هِيَ ، وَلَا يَحِلُّونَ بِمَنْ يُعْلِمهُمْ بِهَا مُفَصَّلَة ، فَلَمَّا حَصَلَ صُلْح الْحُدَيْبِيَة اِخْتَلَطُوا بِالْمُسْلِمِينَ ، وَجَاءُوا إِلَى الْمَدِينَة ، وَذَهَبَ الْمُسْلِمُونَ إِلَى مَكَّة ، وَحَلُّوا بِأَهْلِهِمْ وَأَصْدِقَائِهِمْ وَغَيْرهمْ مِمَّنْ يَسْتَنْصِحُونَهُ ، وَسَمِعُوا مِنْهُمْ أَحْوَال النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُفَصَّله بِجُزْئِيَّاتِهَا ، وَمُعْجِزَاته الظَّاهِرَة ، وَأَعْلَام نُبُوَّته الْمُتَظَاهِرَة ، وَحُسْن سِيرَته ، وَجَمِيل طَرِيقَته ، وَعَايَنُوا بِأَنْفُسِهِمْ كَثِيرًا مِنْ ذَلِكَ ، فَمَا زَلَّتْ نُفُوسهمْ إِلَى الْإِيمَان حَتَّى بَادَرَ خَلْق مِنْهُمْ إِلَى الْإِسْلَام قَبْل فَتْح مَكَّة فَأَسْلَمُوا بَيْن صُلْح الْحُدَيْبِيَة وَفَتْح مَكَّة ، وَازْدَادَ الْآخَرُونَ مَيْلًا إِلَى الْإِسْلَام ، فَلَمَّا كَانَ يَوْم الْفَتْح أَسْلَمُوا كُلّهمْ لِمَا كَانَ قَدْ تَمَهَّدَ لَهُمْ مِنْ الْمَيْل ، وَكَانَتْ الْعَرَب مِنْ غَيْر قُرَيْش فِي الْبَوَادِي يَنْتَظِرُونَ بِإِسْلَامِهِمْ إِسْلَام قُرَيْش ، فَلَمَّا أَسْلَمَتْ قُرَيْش أَسْلَمَتْ الْعَرَب فِي الْبَوَادِي . قَالَ تَعَالَى : إِذَا جَاءَ نَصْر اللَّه وَالْفَتْح وَرَأَيْت النَّاس يَدْخُلُونَ فِي دِين اللَّه أَفْوَاجًا . شرح النووي على مسلم – ج 6 / ص 241

Ulama berkata: Maslahat yang timbul atas perjanjian damai ini adalah sesuatu yang tampak dari buahnya yang indah dan manfaat yang nyata, yang berujung pada penaklukan kota Makkah, dan semua penduduknya memeluk Islam dan orang-orang masuk ke dalam Islam secara berbondong-bondong. Sebab sebelum terjadinya perjanjian damai para penduduk Makkah tidak pernah berkumpul dengan umat Islam dan tidak tampak kepada mereka perilaku-perilaku Nabi Saw yang nyata, serta tidak ada yang menjelaskan kepada mereka secara terperinci. Ketika terjadi perjanjian Hudaibiyah, mereka berbaur dengan umat Islam, mereka datang ke Madinah dan umat Islam berkunjung ke Makkah. Mereka berkumpul bersama keluarga, kawan dan lainnya. Mereka mendengar dari para sahabat tentang perilaku Nabi secara mendetail, mukjizat yang nyata, tanda kenabian yang jelas, kepribadian yang bagus, perilaku yang indah dan mereka sering menyaksikan secara langsung. Maka hati mereka mulai condong pada iman hingga banyak dari mereka bergegas dalam Islam sebelum penaklukan kota Makkah. Maka mereka telah masuk Islam antara perjanjian damai Hudaibiyah dan penaklukan Makkah. Orang yang lain pun bertambah condong ke dalam Islam. Ketika hari penaklukan kota Makkah, maka mereka telah masuk Islam semua, sebab mereka telah memiliki bekal terhadap Islam. Sementara orang Arab yang di pedalaman selain Quraisy, mereka masih menunggu orang Quraisy masuk Islam. Dan ketika orang Quraisy masuk Islam maka orang-orang Arab pedalaman masuk Islam. Allah berfirman: Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong” (Syarah Muslim, Imam Nawawi 6/241)

Dengan demikian, 4 Pilar kebangsaan yang telah final sebagai langkah wujudnya perdamaian di Indonesia baik antar pulau, suku dan agama, telah sesuai dengan jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Saw. Namun bagi aliran diluar kami, yang sebenarnya mereka belum merasakan derita jika suatu negara telah terjadi perang agama atau perang saudara tidak akan bisa pulih dalam waktu cepat, dan mereka belum tahu mahalnya sebuah kedamaian, maka mereka pun akan tetap maju menyuarakan harapannya. Disinilah mereka akan berhadapan dengan kami.

Bagi kami, meski demokrasi bukan hukum Islam formal, namun subtansi ajaran Islam dimasukkan ke dalamnya. Pancasila memang tak ada embel-embel Islam, namun bukan berarti Kafir sebab Pancasila bukan agama, melainkan sebuah falsafah negara untuk menjaga persatuan bangsa dalam kedamaian bingkai NKRI, sebagaimana Rasulullah menerima perjanjian damai Hudaibiyah dan Sayidina Ali menerima Tahkim (arbiterase).

Saya (Bahrur Rasid) berkata:
Dalam hal melaksanakan syari'at Islam secara totalitas, terutama untuk menerapkan hukum pidana Islam. Dan kondisi seperti ini bukanlah suatu dosa yang tak termaafkan, lebih-lebih boleh divonis kafir. Sebab dalam menjalankan perintah agama, ada tolok ukur yang disesuaikan dengan kapasitas dan kemampuan, seperti sabda Nabi Saw.:
فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَدَعُوهُ

Maka, apabila aku perintahkan sesuatu kepada kalian, lakukanlah semampu kalian. Dan apabila aku melarang sesuatu kepada kalian, maka tinggalkanlah. (HR.Bukhari Muslim)

Fakta-fakta dan realita diatas kian meyakinkan bahwa cita-cita untuk mendirikan khilafah islamiyah akan membawa konsekuensi tersendiri bukan hanya menyangkut tampilan wajah Indonesia tetapi juga kondisi masyarakat yang akan diwarnai oleh konflik dan disistensi dari elemen bangsa yang lain. Formalisasi syariat secara totalitas (Khilafah islamiyah) sebagai hukum positif tanpa mempertimbangkan kesiapan umat Islam justeru akan menimbulkan mafsadah terhadap umat Islam sendiri. di Indonesia, yang kendati Muslim secara kuantitas menempati angka mayoritas, namun secara kualitas keIslaman masih relatif rendah, dipastikan akan banyak orang yang tangannya buntung, atau mati di tangan eksekutor ketika hukuman hudud diformalkan dalam hukum positif. dan hal ini dikhawatirkan justeru akan menyebabkan banyak umat Islam yang lari tidak mengakui sebagai Muslim, karena ketakutan terhadap sanksi hukum tersebut. Formalisasi syariat di tengah ketidaksiapan umat justeru akan meningkatkan angka Muslim yang murtad, dan ini jelas merugikan umat Islam sendiri yang di Indonesia menduduki level lebih dari 80 persen.
Sederhananya, apabila menginginkan Indonesia menjadi negara Islami, Islamikan terlebih dulu bangsanya. Memaksakan pendirian Negara Islam atau formalisasi syariat secara emosianal, tanpa didukung kesiapan mental-sosial rakyatnya, hanya akan menjadikan negara tanpa bangsa. Bangsa yang Islami jauh lebih baik dibanding negara Islami. Jauh lebih penting bagaimana membangun masyarakat sadar hukum, yang bersedia meninggalkan kejahatan pencurian, pembunuhan, dan perzinahan, dari pada ngotot bagaimana bisa menghukum para pencuri, pembunuh dan pezina dengan hukuman potong tangan, qishas, dan rajam.

Wallahu subhanahu wa ta'alaa a'lam..

Ditulis dari hasil kopdar dunia maya bertajuk: Eksistensi Ahlussunnah wal Jamaah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai NKRI bertempat di Rumah Makan Padang Jl. Kalimantan-Jember, bersama Ust.al-Hajj Alan Tam

Ust. BAHRUR ROSYID

Komentar

Postingan Populer