Khilafah HTI Tertinggal 50 Tahun Dengan NU
Bismillaah
Indonesia pernah menerapkan sistem pemerintahan yang bernuansa khilafah selama 39 tahun, yaitu:
1. Ketika MPRS mengangkat Soekarno sebagai Presiden Seumur hidup:
2. Ketika Negara ini mempertahankan rumusan Pasal 1 ayat 1 dan 2, Naskah lama UUD 1945.
Dan menariknya pada sidang BPUPKI 29 Mei 1945, Prof. Mr. Moh. Yamin dan A. Sanusi mengusulkan agar bentuk Negara Indonesia nanti adalah khilafah. Perlu dicatat bahwa pada waktu itu Ismail Yusanto, Rahmat Kurnia, dan tokoh-tokoh HTI belum lahir.
Yang menarik, meskipun terjadi perdebatan tentang bentuk Negara di antara Soepomo, Moh. Yamin, dan Ki Bagus Hadikusuma, Ir. Soekarno mengusulkan jalan tengah, seperti disebut di dalam notulensi AB Kusuma, yaitu menggabungkan usulan itu menjadi draft final Pasal 1 ayat 1 dan 2 UUD 1945.
Dan NU pasca keluar dari Masyumi memperlakukan Ir. Soekarno tidak ubahnya sebagai khalifah dengan gelar waliyyul amri al-dhoruri bis syaukah. Gelar seperti ini tidak dikenal di sistem demokrasi, silakan buka semua buku ilmu negara dan tata negara, tidak akan ditemui istilah waliyyul amri al-dhoruri bis syaukah.
Tentu saja, bagi para kyai, pemberian gelar itu bukan tanpa makna. Para kyai NU tahu betul bagaimana meng-korkondansi (menyesuaikan) konsep-konsep politik Islam yang khilafah minded dengan situasi kontemporer. Sehingga, jadilah konsep khilafah yang merepublik dan konsep republik yang meng-khilafah.
Dalam kaitannya dengan penggunaan isu khilafah ini, HTI sudah tertinggal 50 tahun dari NU. NU dengan kecemerlangan ijtihad para kyai sudah bermain di leve modifikasi konsep khilafah, sedangkan HTI baru berada di level abstraksi yang serba lemah. Tiba-tiba muncul ISIS yang menyodorkan ide khilafah yang serba salah
Prof. KH. Abdi Kurnia Djohan
Indonesia pernah menerapkan sistem pemerintahan yang bernuansa khilafah selama 39 tahun, yaitu:
1. Ketika MPRS mengangkat Soekarno sebagai Presiden Seumur hidup:
2. Ketika Negara ini mempertahankan rumusan Pasal 1 ayat 1 dan 2, Naskah lama UUD 1945.
Dan menariknya pada sidang BPUPKI 29 Mei 1945, Prof. Mr. Moh. Yamin dan A. Sanusi mengusulkan agar bentuk Negara Indonesia nanti adalah khilafah. Perlu dicatat bahwa pada waktu itu Ismail Yusanto, Rahmat Kurnia, dan tokoh-tokoh HTI belum lahir.
Yang menarik, meskipun terjadi perdebatan tentang bentuk Negara di antara Soepomo, Moh. Yamin, dan Ki Bagus Hadikusuma, Ir. Soekarno mengusulkan jalan tengah, seperti disebut di dalam notulensi AB Kusuma, yaitu menggabungkan usulan itu menjadi draft final Pasal 1 ayat 1 dan 2 UUD 1945.
Dan NU pasca keluar dari Masyumi memperlakukan Ir. Soekarno tidak ubahnya sebagai khalifah dengan gelar waliyyul amri al-dhoruri bis syaukah. Gelar seperti ini tidak dikenal di sistem demokrasi, silakan buka semua buku ilmu negara dan tata negara, tidak akan ditemui istilah waliyyul amri al-dhoruri bis syaukah.
Tentu saja, bagi para kyai, pemberian gelar itu bukan tanpa makna. Para kyai NU tahu betul bagaimana meng-korkondansi (menyesuaikan) konsep-konsep politik Islam yang khilafah minded dengan situasi kontemporer. Sehingga, jadilah konsep khilafah yang merepublik dan konsep republik yang meng-khilafah.
Dalam kaitannya dengan penggunaan isu khilafah ini, HTI sudah tertinggal 50 tahun dari NU. NU dengan kecemerlangan ijtihad para kyai sudah bermain di leve modifikasi konsep khilafah, sedangkan HTI baru berada di level abstraksi yang serba lemah. Tiba-tiba muncul ISIS yang menyodorkan ide khilafah yang serba salah
Prof. KH. Abdi Kurnia Djohan
Komentar
Posting Komentar